Bahasa:
INDONESIA ENGLISH
BERANDA PETA SITUS PEMUTAKHIRAN Cari
 
 

 

SOEHARTO

Masa Bakti 1966 - 1998

 
     
 
 

KENDALI TAMPILAN CANTUMAN

KEPUSTAKAAN TERKAIT PRESIDEN

PRESIDEN-PRESIDEN RI

Soekarno
Masa Bakti 1945-1966
Soeharto
Masa Bakti 1966-1998
BJ. Habibie
Masa Bakti 1998-1999
Abdurrahman Wahid
Masa Bakti 1999-2001
Megawati Soekarnoputri
Masa Bakti 2001-2004
Susilo B. Yudhoyono
Masa Bakti 2004-2014
Joko Widodo
Masa Bakti 2014-
 

KELUARGA

Detail cantuman
< Kembali ke daftar >
Nama :

R.R. Soekirah

Hubungan :

Ibu

Riwayat Singkat :

foto R.R. Soekirah Raden Roro Soekirah adalah putri kedua dari pasangan Sukiman dan Suminem yang lahir sekitar tahun 1903 disebuah dusun yang terletak di daerah Argomulyo-Godean Yogyakarta yang bernama Kemusuk. Masa kecil adalah masa-masa yang sangat membahagiakan dalam perjalanan hidup Rr. Soekirah. Ketika menginjak masa remaja, seperti gadis desa pada umumnya, kegiatan Rr. Soekirah di luar rumah mulai dibatasi, sedikit demi sedikit Rr. Soekirah diberi tanggung jawab membantu pekerjaan ibunya. Rr. Soekirah tumbuh menjadi kembang desa yang ayu namun dikenal ramah dan mudah akrab dengan seluruh penduduk desa Kemusuk tanpa memandang status sosialnya. Mungkin karena sifatnya inilah yang membuatnya mudah terpikat dengan Kertoredjo seorang duda yang telah memiliki dua orang anak. Rr. Soekirah dan Kertoredjo resmi menikah ketika Soekirah berusia 16 tahun dan setelah menikah Soekirah tidak lagi disebut Den Roro oleh penduduk setempat melainkan disebut Raden Nganten. Soekirah dan Kertoredjo, sesuai adat Jawa kemudian berganti nama menjadi Kertosudiro menjalani kehidupan rumah tangga yang canggung karena seorang duda menikah dengan gadis berusia muda yang masih kemanja-manjaan. Kebahagiaan yang dirasakan tidak berlangsung lama karena perbedaan prinsip diantara keduanya mulai terlihat. Dalam kondisi hamil tua, Soekirah pulang ke rumah orang tuanya karena sudah tidak tahan dengan kelakuan suaminya. Kepulangan Soekirah tidak direstui kedua orang tuanya sehingga ia diharuskan kembali ke suaminya. Soekirah putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa, kemudian ia berniat melakukan �protes ke dalam� dengan nglakoni. Soekirah melalukan puasa ngebleng dan menyelinap ke salah satu sentong (kamar) yang berada di tengah rumah sehingga keberadaannya tidak mudah diketahui oleh saudara-saudaranya yang mencari dengan cemas. Tidak beberapa lama setelah kejadian tersebut, tepatnya pada tanggal 8 Juni 1921 Soekirah melahirkan dan oleh suaminya bayi itu diberi nama Soeharto yang mencerminkan harapan Kertosudiro yaitu kelak anaknya dianugerahi harta yang melimpah serta kedudukan yang tinggi. Kehadiran anak di dalam rumah tangga ternyata tidak banyak merubah keadaan, sehingga ketika Soeharto belum genap berusia 40 hari keduanya bercerai. Soeharto lalu diasuh oleh neneknya, Ny. Atmosudiro yang kemudian diserahkan kepada Mbah Kromodirjo, dukun bayi yang telah membantu persalinan Soekirah. Kesehatan Soekirah pulih kembali, kemudian ia berkenalan dengan Purnomo keturunan Wongsomenggolo pendiri dusun Kemusuk dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Purnomo yang kemudian berganti nama menjadi R. Atmoprawiro, sangat memahami latar belakang Soekirah sehingga kehidupan rumah tangga mereka dijalani dengan harmonis. Sementara Kertosudiro yang telah menikah kembali dan berganti nama menjadi Notokaryo, berniat menitipkan Soeharto kepada adiknya, Ny. Prawirowiharjo. Tanpa sepengetahuan Soekirah, Kertosudiro membawa Soeharto secara paksa karena takut niatnya tidak disetujui oleh Soekirah dan Soeharto tumbuh hingga dewasa dalam asuhan Ny. Prawirowiharjo. Bersama R. Atmopawiro, Soekirah menjalani kehidupan yang lebih baik dan dikaruniai tujuh orang putra dan putri. Soekirah dikenang sebagai perempuan yang kuat tirakat dan gedhe prihatine. Pola hidup sederhana, kemandirian serta taat dalam mengamalkan ajaran agama selalui diajarkan Soekirah kepada semua anaknya. Sifat lain yang selalu dinasihatkan kepada anak-anaknya adalah gemi, nastiti lan ngati-hati, yakni hemat, tekun dan selalu bersikap hati-hati (waspada) dan juga pepatah open dan kopen, yaitu sikap merawat dan memelihara segala sesuatu. Perjuangan Soekirah dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya belum bisa ia rasakan hasilnya. Menjelang saat-saat kemerdekaan, penyakit lama yang dideritanya kambuh lagi hingga mengakibatkan dirinya meninggal dunia pada tahun 1946 dan kemudian dimakamkan di Gunung Pule. Sedangkan Atmoprawiro meninggal pada tahun 1949, karena tertembak oleh Belanda yang sedang melacak jejak Soeharto di Kemusuk. Atmoprawiro kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Wongsomenggolo di daerah Gedong.

Sumber : Ibu Indonesia Dalam Kenangan oleh Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. Diterbitkan oleh Bank Naskah Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Biografi Indonesia, 2004

< Kembali ke daftar >