Bahasa:
INDONESIA ENGLISH
BERANDA PETA SITUS PEMUTAKHIRAN Cari
 
 

 

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Masa Bakti 2001 - 2004

 
     
 
 

KENDALI TAMPILAN CANTUMAN

KEPUSTAKAAN TERKAIT PRESIDEN

PRESIDEN-PRESIDEN RI

Soekarno
Masa Bakti 1945-1966
Soeharto
Masa Bakti 1966-1998
BJ. Habibie
Masa Bakti 1998-1999
Abdurrahman Wahid
Masa Bakti 1999-2001
Megawati Soekarnoputri
Masa Bakti 2001-2004
Susilo B. Yudhoyono
Masa Bakti 2004-2014
Joko Widodo
Masa Bakti 2014-
 

KELUARGA

Detail cantuman
< Kembali ke daftar >
Nama :

Taufiq Kiemas

Hubungan :

Suami

Riwayat Singkat :

foto Taufiq Kiemas Taufiq Kiemas Lahir di Jakarta, 31 Desember 1942 beragama Islam, Isteri Megawati Sukarnoputeri.
Jabatan sebagai Anggota DPR

Taufiq Kiemas: Pemimpin Tanpa Rakyat Tak Berarti Apa-apa

Itulah judul buku yang diluncurkan Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, pada saat merayakan ulang tahunnya ke-60. Memang terasa spesial, politisi paling kontroversial merayakan ulang tahunnya dengan meluncurkan dan sekaligus membedah buku yang ditulisnya sendiri.

Peluncuran dan bedah buku "Tanpa Rakyat Pemimpin tak Berarti Apa-apa", Jejak Langkah 60 Tahun Taufiq Kiemas ini dilangsungkan, Selasa (31/12) - tepat tanggal kelahiran Taufiq - di Agung Room, Inna Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar, Bali. Acara itu dimoderatori pengamat politik yang juga dekat dengan Taufiq Kiemas, Rizal Mallarangeng. Sedang pembicaranya, Soetardjo Soerjogoeritno, Panda Nababan yang juga editor buku tersebut, dan Cornelis Lay, semuanya dari PDI Perjuangan. Dan dihadiri langsung Presiden Megawati Soekarnoputri.

Buku yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan dan Panitia Penerbitan Buku 60 Tahun Taufiq Kiemas dengan editor Panda Nababan ini terdiri 4 bab 832 halaman. Berisi pokok-pokok pikiran Taufiq Kiemas dan pandangan cendekiawan, kerabat, dan sahabat, bahkan lawan politiknya.

Panda Nababan dalam pengantarnya menyatakan, Taufiq Kiemas, orang Palembang yang lahir di Jakarta, 31 Desember 1942, selama ini dikenal sebagai tokoh di belakang layar (the man behind the scene). Benang merah pemikiran Taufiq Kiemas berujung pada asas kerakyatan.

Perhatian besar Taufiq Kiemas terhadap kehidupan rakyat kecil dituangkan pada halaman 16-17. "Tanpa dukungan rakyat, aku tidak akan jadi seperti sekarang ini," kata Taufiq. Pada halaman lain disebutkan contoh perjuangan Taufiq terhadap kehidupan rakyat kecil, yaitu, bersama beberapa kawannya, Taufiq Kiemas memelopori pembentukan koperasi tukang becak.

"Mula-mula kami menangani langsung manajemen koperasi dan bengkel becak itu. Tapi, setelah jalan, kami serahkan kepada para tukang becak sendiri,� kenang Sjafei Ali Gumay, salah seorang kawan dekat Taufiq Kiemas semasa aktif di GMNI Palembang.

Sekarang ini, peran dan pengaruh Taufiq dinilai sangat signifikan dalam menentukan arah dan peta perpolitikan di Indonesia. Pengaruh Taufiq Kiemas itu tidaklah semata-mata karena statusnya sebagai suami Presiden Megawati Soekarnoputri, tapi juga karena posisinya yang cukup sentral sebagai sesepuh PDI Perjuangan, partai yang kini berkuasa (the ruling party).

Selain itu, kemampuan Taufiq Kiemas dalam memainkan perannya sebagai aktor politik, lewat berbagai manuvernya juga diakui mampu mewarnai kanvas perpolitikan negeri ini.

Pada Bab IV berisi artikel-artikel yang ditulis empat intelektual muda -dua orang wartawan dan dua orang ilmuwan politik-, yang menganalisis sosok Taufiq Kiemas dalam peta perpolitikan nasional.

Selain mengisahkan penangkapan atas diri Taufiq Kiemas dan puluhan aktivis GMNI Palembang pasca-tragedi 1965, buku ini juga menampilkan kisah asmara Taufiq Kiemas dengan Megawati. Betapa Taufiq selama mendampingi Megawati dalam perjalanan panjang kehidupannya membangun karakter Mega sebagai politisi. Juga disinggung naiknya Megawati ke puncak kekuasaan, menyusul lengsernya KH Abdurrachman Wahid sebagai Presiden RI pada pertengahan 2001.

Yang menarik dari buku ini, tidak saja menampilkan pendapat para kerabat dan sahabat Taufiq Kiemas serta analisis para intelektual yang kenal dekat dengan Taufiq, melainkan juga menampilkan pandangan Soerjadi. Menurut Soerjadi, otak Mas Taufiq ggak pernah tidur. Taufiq Kiemas, tambahnya, juga baik. "Saya punya jam tangan dari dia," kata Soerjadi.

Setelah sama-sama di GMNI (1966-1969), keduanya kemudian sama-sama berada di gerbong PDI, dengan Soerjadi sebagai ketua umum. Tapi, dalam perkembangannya, menjelang kongres PDI di Medan yang pertama, pertemanan yang telah terbangun puluhan tahun itu menjadi kurang serasi. Sejarah akhirnya mencatat PDI terbelah dua. Yang satu dipimpin Soerjadi, yang dikenal sebagai partai onderbouw pemerintah; satunya lagi dipimpin Megawati dan Taufiq Kiemas berada di belakangnya.

Setelah menjadi Ketum PDI, Soerjadi punya kesempatan membukakan pintu kepada seseorang untuk masuk. Pada wkatu itu, Soerjadi mengaku punya keinginan kuat untuk memunculkan salah seorang anak Bung Karno. "Keinginan saya waktu itu, demi Allah, motifnya bukan untuk membesarkan PDI, tapi sebagai rasa terima kasih saya kepada Bung Karno yang telah memerdekakan bangsa ini. Saya berpikir, kalau bangsa ini ggak merdeka, nggak mungkin saya bisa seperti sekarang. Saya pastilah akan tetap menjadi petani miskin di kampung saya. Paling banter, saya hanya bisa makan, itu pun kurang," kata Soerjadi.

"Saya hanya mau mengatakan, saya telah diperintahkan kepada seluruh pendukung saya untuk mendukung Mbak Mega sebagai ketua umum. Namun, setiap saya menelepon, teleponnya dikasihkan ke Mas Tjipto (Soetjipto, sekarang Sekjen DPP PDIP). Saya pribadi sebenarnya telah berusaha berkomunikasi. Jadi, saya tidak ada masalah apa-apa dengan Mas Taufiq," demikian Soerjadi.

Buku ini layak dibaca para politisi dan para pemimpin negeri ini, serta para ilmuwan dan juga masyarakat. Dalam buku ini Taufiq seperti mengingatkan bahwa masalah-masalah kenegaraan selalu terkait dengan aspek kerakyatan.

"Pemimpin itu harus selalu mendampingi rakyat, memberi semangat kepada rakyat. Jangan malah menjual rakyat. Tanpa rakyat, pemimpin tidak berarti apa-apa. Ibarat ikan enggak dapat air, lama-lama mati sendiri. Pemimpin jangan Cuma bisa ngajarin rakyat, tapi justru belajar dari rakyat," kata Taufiq.

Jogja Rumah Sendiri
Suami Presiden Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, merasa seperti berada di rumah sendiri jika berada di Yogyakarta. Ia merasa senang mendapat sambutan yang ramah. Taufiq yang berasal dari Palembang ini ternyata memiliki kenangan tersendiri di Yogyakarta.

Menurut dia, 46 tahun yang lalu, ayah dan ibunya dari Palembang pindah ke Yogyakarta. Tanpa pernah tahu bagaimana Yogyakarta, dan tidak pernah mengetahui bahasa Jawa, kedua orang tuanya masuk ke Yogyakarta karena merasa sebagai orang republiken harus ikut andil berjuang. "Pada masa awal republik, Yogyakarta sudah menjadi kota yang modern yang bisa menerima orang lain, kota yang majemuk dan kotanya kaum republiken," ujarnya kepada Media.

Menurut Taufiq, ketika itu usianya baru sekitar 4-5 tahun. Saat itu ayahnya sempat hilang di kawasan Gunung Merapi selama hampir enam bulan. Selama waktu enam bulan itulah, katanya, ia bersama ibunya dihidupi oleh orang desa di kawasan Merapi.

Namun, Taufiq tidak menjelaskan di kawasan mana kehidupannya saat ayahnya hilang dan di desa mana yang menjadi tempat tinggalnya itu. Tidak hanya dirinya yang merasa senang berada di Yogya. Menurut dia, Megawati juga merasa sebagai orang Yogya. Karena pada masa kecilnya pernah tinggal di Yogyakarta saat kota ini menjadi ibu kota republik.

Karena itu, lanjutnya, ia juga merasa akrab dengan Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X ini. Bahkan, Taufiq selalu memanggil Gubernur DIY ini dengan sebutan Mas Sultan. "Karena sejak awal saya panggilnya memang Mas Sultan."

Sumber: Kompasi

< Kembali ke daftar >