Bahasa:
INDONESIA ENGLISH
BERANDA PETA SITUS PEMUTAKHIRAN Cari
 
 

 

 

 
     
 

KENDALI TAMPILAN CANTUMAN

PEMILIHAN UMUM

PRESIDEN-PRESIDEN RI

Soekarno
Masa Bakti 1945-1966
Soeharto
Masa Bakti 1966-1998
BJ. Habibie
Masa Bakti 1998-1999
Abdurrahman Wahid
Masa Bakti 1999-2001
Megawati Soekarnoputri
Masa Bakti 2001-2004
Susilo B. Yudhoyono
Masa Bakti 2004-2014
Joko Widodo
Masa Bakti 2014-

ISTANA-ISTANA PRESIDEN

 

DIREKTORI PENYELENGARAAN PEMILU

Detail cantuman
< Kembali ke daftar >

Pemilihan Umum Tahun 1997
Dilaksanakan pada 29 Mei 1997
Jumlah Peserta : 3 partai

 

Pemilu Indonesia tahun 1997 diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997, dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1997 sekitar 196.286.613 dengan pemilih terdaftar berjumlah 125.640.987. Seperti sudah diramalkan oleh banyak orang di dalamnegeri maupun di luarnegeri, GOLKAR telah, untuk kesekian kalinya, menang lagi dengan "gemilang" dalam PEMILU 1997 ini. Di seluruh propinsi, Golkar telah muncul sebagai pemenang unggul. Dan menurut Suara Merdeka (30 Mei 97), Presiden Suharto merasa puas atas kegiatan pemungutan suara di seluruh Indonesia. "Presiden merasa gembira", kata Mendagri Yogie SM setelah diterima oleh Kepala Negara di kediaman Jalan Cendana, untuk melaporkan pelaksanaan pemungutan suara di Tanah Air. Yogi SM, yang juga Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU), datang di Jalan Cendana bersama dengan Jaksa Agung/Ketua Panwaslakpus Singgih SH.

Apa artinya ini semua ? Ini akan berarti bahwa, sejak sekarang, negeri kita akan memasuki periode yang penuh gejolak dan ketegangan-ketegangan. Ketidakpuasan akan meledak dalam berbagai bentuk, dan kemarahan banyak golongan dalam masyarakat akan meletus dengan cara yang macam-macam. Peristiwa-peristiwa yang bisa mengarah kepada kerusuhan akan terus-menerus terjadi di berbagai daerah, sampai menjelang sidang MPR, dan bahkan sesudahnya. Itu semua akan timbul sebagai akibat dari persoalan-persoalan yang terjadi dalam masa-masa sebelum, selama dan sesudah Pemilu 1997. Juga sebagai akibat makin mengerasnya tindakan-tindakan represif fihak pemerintah (ABRI) terhadap berbagai golongan dalam masyarakat. Sebab, kekerasan pemerintah yang akan dilakukannya di kemudian hari juga akan makin membangkitkan perlawanan.

Pemilu 1997 akan melahirkan perlawanan dari berbagai golongan dalam masyarakat. Perlawanan itu tidak mesti berbentuk kekerasan atau kerusuhan. Sebab, perkembangan situasi sesudah Pemilu 1997 akan menunjukkan bahwa "bara api pembrontakan" terhadap sistem politik Orde Baru makin berkobar dalam dada banyak orang di Indonesia. Pembrontakan moral akan muncul dalam berbagai manifestasinya, menghadapi kekuasaan raksasa di bawah pimpinan Presiden Suharto, yang telah menyelenggarakan Pemilu ini dengan cara-cara curang dan manipulasi yang kotor. Pembrontakan semacam itu akan dibenarkan oleh sejarah, dan disahkan oleh hati-nurani banyak orang yang mendambakan perobahan demokratik yang berdasarkan kejujuran dan keadilan.

Dalam Pemilu 1997 ini Golkar telah menang dalam angka (yang tetap perlu diragukan kebenarannya), tetapi kemenangan ini tidak menjadikannya lebih terhormat dari pada yang sudah-sudah. Bahkan kebalikannya, kemenangan ini makin menunjukkan kepada masyarakat luas di Indonesia, dan juga di luarnegeri, ciri dan watak yang sebenarnya kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto. Dengan Pemilu 1997, seperti halnya Pemilu-Pemilu yang sudah ber-kali-kali diadakan pada masa-masa yang lalu, pemerintahan Orde Baru telah menghina rakyat Indonesia, serta memandang rendah opini rakyat Indonesia dan juga opini dunia.

Seperti kita akan kita saksikan tidak lama lagi, maka banyak bukti dan banyak saksi akan menunjukkan kepada opini di dalamnegeri dan juga di luarnegeri bahwa kemenangan Golkar ini adalah produk dari rekayasa besar-besaran dari kekuasaan Orde Baru untuk mempertahankan statusquo dan menentang adanya pembaruan atau perombakan tatanan politik yang selama 30 tahun telah menimbulkan kerusakan-kerusakan di berbagai bidang. Dengan arogansi yang menyolok secara keterlaluan mereka berusaha membendung arus besar reformasi yang dipelopori oleh generasi muda dari berbagai golongan dan aliran. Gejala inilah yang merupakan aspek yang positif dan menggembirakan, yang bisa dilihat selama dua tahun terakhir ini, dan terutama selama masa kampanye Pemilu 1997.

Pemilu 1997 ini telah dipersiapkan oleh pemerintahan Orde Baru dengan berbagai langkah buruk, rekayasa kotor, peraturan-peraturan yang tidak demokratis, dan rencana-rencana yang patut diharamkan oleh nalar yang sehat. Pemilu 1997 bukanlah sesuatu yang luber-jurdil, dan karenanya tidak sah dan haram. Oleh karena itu, apa yang dihasilkannya, adalah tidak sah pula, dan patut dinajiskan oleh hati nurani rakyat banyak. Artinya, kalau kita terima hasil Pemilu yang berdasarkan kebathilan ini, maka berarti kita ikut melakukan kesalahan besar dalam mempertahankan sesuatu yang telah menimbulkan kerusakan-kerusakan besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia.

Pemilu 1997 telah berlalu. Sejak sekarang inilah mulai perjuangan baru, bagi kita semua, untuk menunjukkan, dengan berbagai cara, bahwa Pemilu 1997 adalah tidak sah secara moral dan secara politik. Sebab, hasil Pemilu 1997 yang najis ini juga akan melahirkan DPR dan MPR yang patut diharamkan oleh rakyat (harap dicatat bahwa itu tidak berarti bahwa kita tidak menghormati sejumlah wakil-wakil rakyat yang jujur dan bersih yang terdapat di kalangan PPP atau Golkar). Dan berdasarkan pengalaman selama 30 tahun ini, kita sudah menyaksikan bahwa DPR dan MPR, yang didominasi dan dimanipulasi oleh pendukung-pendukung Suharto-Orde Baru-Golkar, bukanlah merupakan lembaga yang mewaikili rakyat. Wakil-wakil PPP dalam DPR, walaupun mereka berusaha berjuang dengan bersih, tidak akan bisa berbuat banyak, menghadapi dominasi Golkar-Abri. Dan, PDI-nya Suryadi, yang sudah dikerdilkan oleh rakyat, hanya akan menjadi tontonan yang memelas dan menjijikkan dalam sidang-sidang DPR yang, nota bene, gadungan juga.

Praktek-praktek pemerintahan Orde Baru sebelum dan setelah Pemilu 1997 ini akan menunjukkan bukti-bukti tambahan kepada rakyat Indonesia, dan kepada opini dunia, bahwa pemerintahan Indonesia haruslah diganti, dan Presiden Suharto harus meletakkan jabatan. Tanpa digantinya Presiden Suharto dengan tokoh yang lain, situasi yang buruk dalam bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, kehidupan moral yang sudah mengidap penyakit parah ini akan berlangsung terus. Korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dalam skala besar dan kecil akan terus melakukan kerusakan-kerusakan besar yang memprihatinkan di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Presiden Suharto tidak boleh dibiarkan terus melakukan praktek-praktek yang tidak terpuji, demi kepentingan kelanggengan Republik Indonesia, dan demi kepentingan generasi yang akan datang. Tetapi, apakah mudah untuk menghilangkan kangker yang satu ini ? Apakah perobahan situasi di Indonesia harus menunggu dulu, sampai "orang kuat" ini meninggalkan kita semua, dan masuk surga di sana ?

Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1997 adalah penghinaan sistem politik Orde Baru terhadap rakyat Indonesia. Tidak patutlah kiranya bagi Presiden Suharto beserta pejabat-pejabat tinggi ABRI dan pembesar-pembesar sipil Golkar untuk bergembira-ria dan merasa bangga dengan hasil-hasil Pemilu 1997. Sebab, kemenangan ini akan membikin lebih buruknya citra Indonesia dalam pergaulan bangsa-bangsa yang beradab di dunia ini. (Dapatlah dibayangkan betapa sulitnya para diplomat Indonesia yang bertugas di luarnegeri untuk menyembunyikan wajah yang bonyok dan bopeng-bopeng pemerintahan Orde Baru). Sebab, selanjutnya, seperti halnya yang sudah-sudah, mass-media luarnegeri akan terus-menerus menyoroti "keanehan-keanehan" yang sudah dilakukan oleh pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Suharto ini. Dan karena perlawanan terhadap sistem politik Orde Baru ini akan makin meluas dan makin berani, maka penindasan terhadap mereka yang menginginkan perobahan juga akan lebih kejam, lebih brutal, lebih banyak. Seiring dengan berkembangnya situasi yang demikian, maka mass-media luarnegeri juga akan lebih getol menyajikan cerita-cerita yang menarik tentang kelakuan pembesar-pembesar Indonesia.

Kemenangan Golkar dalam Pemilu juga berarti matinya demokrasi di Indonesia, yang selama 30 tahun sudah mengidap penyakit parah, akibat kangker dan benalu yang mencengkam pimpinan pemerintahan. Hal ini dengan gamblang telah dilihat oleh banyaknya pemuda dan mahasiswa yang telah membawa peti-mati dalam berbagai unjuk rasa. Mareka juga melihat bahwa Pemilu 1997 hanyalah suatu rekayasa besar-besaran yang mahal harganya, yang bertujuan untuk mempertahankan statusquo yang berbau busuk. Di banyak universitas telah muncul aksi-aksi yang makin berani. Pemuda dan mahasiswa dari berbagai golongan dan faham politik, yang tersebar diberbagai daerah, sudah melancarkan aksi-aksi boikot, golput dan goltus, untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap Pemilu yang tidak luber-jurdil itu. Mereka melancarkan perlawanan terhadap sistem politik dan pemerintahan Presiden Suharto yang membikin masa depan bangsa Indonesia menjadi kelam. Generasi muda Indonesia ini ingin menyelamatkan hari depan generasi yang akan datang dari kerusakan-kerusakan yang telah dilakukan Orde Baru.

Sebab, jelaslah bagi banyak orang, yang jumlahnya makin membesar akhir-akhir ini, bahwa dengan hasil Pemilu 1997 ini, segala yang buruk yang sudah berlangsung selama 30 tahun ini akan dipertahankan oleh Presiden Suharto beserta pendukung-pendukungnya yang paling setia. Keburukan-keburukan dan kebusukan-kebusukan inilah "kekuatan" dan "tonggak penyangga" Orde Baru yang dipimpin olehnya dan oleh sistem politik Golkar. Pengalaman yang sudah dijalani sehari-hari oleh banyak orang di Indonesia sudah membuktikan bahwa Orde Baru dan Golkar adalah identik dengan kemerosotan moral, dekadensi mentalitas, penyalahgunaan kekuasaan, kolusi dalam banyak bentuk dan banyak cara, korupsi yang menjalar dari tingkat atas pemerintahan sampai ke tingkat pedesaan. Orde Baru dan Golkar adalah pencipta "jaman edan" di mana banyak orang sudah kehilangan keluhuran budi, yang, tanpa rasa sungkan sudah, dan akan terus, melakukan keselingkuhan dan kenistaan dalam berbagai skala.

Dalam kampanye Pemilu 1997, pembesar-pembesar Orde Baru (Golkar) telah menjanjikan akan diberantasnya korupsi dan kolusi. Mereka juga mengobral iming-iming palsu kepada masyarakat luas bahwa dengan kemenangan yang diperoleh Golkar, maka demokrasi akan dijalankan untuk menghayati aspirasi rakyat. Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin ! Sebab, hakekat watak (dan praktek-praktek) Orde Baru adalah justru bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang lazim diterima oleh nalar yang lumrah. Pemberantasan korupsi dan pembabadan kolusi adalah tidak mungkin dijalankan oleh Orde Baru. Sebab, praktek selama 30 tahun ini juga sudah menjadi saksi bahwa eksistensi Golkar adalah justru satu dengan adanya kolusi, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, persekongkolan dan praktek-praktek selingkuh dan tidak transparan. Sudah 30 tahun demokrasi sudah dibius oleh Orde Baru, dan sesudah Pemilu 1997, tidak mungkin ada pembaruan dalam sikap mereka. Sebab, demokrasi yang sungguh-sungguh dilaksanakan, akan mengadili dosa-dosa yang telah mereka tumpuk selama 30 tahun ini.

Pemilu 1997 telah diselenggarakan secara tidak sah. Karenanya, hasilnyapun tidak sah secara moral. Sudah sewajarlah kalau banyak orang berpendapat bahwa Pemilu 1997 ini harus dianggap batal dan bathil. Mengakui keabsahan sesuatu yang haram semacam itu adalah dosa besar bagi sesama kita dewasa ini, dan juga merupakan keaiban, yang harus dipertanggungjawabkan di hari kemudian.

sumber: A. Umar Said Personal Web Site

Hasil Pemungutan Suara :
No Urut
Nama Partai
Jumlah Suara
Jumlah Kursi

1.

Partai Persatuan Pembangunan

25340028

89

2.

Partai Golongan Karya

84187907

325

3.

PARTAI DEMOKRASI INDONESIA

3463225

11

 
< Kembali ke daftar >